Yang paling fenomenal, Pokemon Go mampu menciptakan kebiasaan baru bagi netizen. Selain selfie, netizen kini juga doyan berkeliaran di jalanan nyata untuk berburu Pokemon liar di dalam game.
Penyatuan dunia nyata dan game pada Pokemon Go dimungkinkan teknologi augmented-reality dan global positioning system (GPS). Ide brilian tersebut datang dari John Hanke yang merupakan pendiri sekaligus CEO Niantic Labs.
Niantic Labs sendiri merupakan studio game yang mengembangkan Pokemon Go, bekerja sama dengan Nintendo dan Pokemon Company.
"Saya selalu berpikir bisa membuat game keren dengan data GPS. Kita bisa bertualang di dunia nyata dalam basis game," kata Hanke.
Proses 20 tahun
Di balik kesuksesan Pokemon Go yang seakan diraih sekejap, Hanke mengalami proses jatuh bangun selama lebih kurang 20 tahun. Semua bermula pada tahun 1996, ketika Hanke masih duduk di bangku sekolah.
Kala itu ia berhasil mengembangkan game berjenis massively multiplayer online (MMO) dengan nama Meridien 59. Hanke kemudian menjual game itu kepada perusahaan konsol game 3DO. Dana yang terkumpul digunakan untuk mewujudkan ambisi utamanya mengembangkan peta digital.
Pada tahun 2000, Hanke akhirnya mendirikan perusahaan pemetaan digital 3D bertajuk Keyhole. Google melihat potensi teknologi yang dikembangkan Keyhole dan mencaplok perusahaan itu pada 2004.
Teknologi Keyhole menjadi cikal bakal Google Earth. Hanke diposisikan sebagai nakhoda dalam divisi Google Geo yang membawahkan tiga layanan, yakni Google Earth, Google Maps, dan Google Street View.
Bikin startup sendiri
Hanke berkarier di Google selama enam tahun hingga 2010. Pada satu titik, Hanke memutuskan untuk membuat startup sendiri bernama Niantic Labs yang didanai Google. Startup itu fokus menciptakan game berbasis peta sesuai dengan impian Hanke.
"Saya selalu berpikir bisa membuat game keren dengan menggunakan data geolokasi. Kita bisa merasakan petualangan nyata pada basis game," kata Hanke.
Game pertama yang diluncurkan Niantic adalah Ingress. Menurut Hanke, ide game tersebut terinspirasi dari khayalannya untuk pulang dan pergi dari rumah ke kantor Google. Sayangnya, percobaan pertama Hanke gagal di pasaran. Ingress tak mendapat penerimaan sebagaimana diharapkan.
Meski begitu, Hanke tak patah semangat. Pada 2014, ia melihat ada peluang besar dari proyek guyonan April Mop yang dibuat Google dan Pokemon Company. Saat itu antusiasme netizen memang membeludak.
Padahal, mekanisme guyonan itu simpel: netizen bisa melihat monster-monster Pokemon berkeliaran dalam Google Maps. Hanke pun tak menunggu lama untuk mengembangkan Pokemon Go pada tahun itu juga. Ia yakin lelucon April Mop itu bakal sukses jika dibuatkan game sungguhannya.
Mendekati investor
Hanke sadar idenya mewujudkan Pokemon Go lewat Niantic butuh dukungan investor. Ia pun mendekati Pokemon Company dan Nintendo pada 2015. Pendekatan ke dua perusahaan itu dilakukan dengan strategi berbeda.
Pokemon Company lebih mudah didekati dengan bekal Hanke sebagai pekerja Google yang bersinggungan langsung dalam proyek April Mop pada 2014. Jodoh Hanke dan Pokemon Company diperkuat karena CEO Pokemon Company Tsunekazu Ishihara adalah gamer sejati Ingress.
Komunikasi di antara mereka terjalin lebih santai. Pokemon Company pun mengucurkan dana dan merestui langkah Hanke membuat Pokemon Go.
Sementara itu, pendekatan ke Nintendo lebih didasari kesamaan visi. Saat itu almarhum Satoru Iwata masih menjabat CEO Nintendo. Ia berdiskusi dengan Hanke dan keduanya memiliki cita-cita serupa, yakni memungkinkan masyarakat beranjak dari kursinya dan berpindah tempat saat bermain game.
"Mereka (Iwata dan Hanke) sama-sama setuju bahwa game harus menjadi sesuatu yang membuat keluarga bermain bersama, serta mengoneksikan orang-orang. Ini meninggalkan kesan yang kuat pada saya," kata neuroscientic Jepang, Ryu Kawashima. Ia dikenal atas kemunculannya di serial video Brain Age untuk Nintendo DS dan Nintendo 3DS.
Di tengah kesulitan bisnis Nintendo menghadapi penurunan penjualan konsol game, perusahaan Negeri Sakura itu akhirnya percaya kepada Niantic dalam upaya mewujudkan Pokemon Go.
Hanke mengumpulkan dana 25 juta dollar AS atau Rp 328 miliar dari Google, Nintendo, Pokemon Company, dan investor lain untuk membentuk tim Pokemon Go. Ada sekitar 40 orang yang menjadi anggota tim.
Mendobrak stereotipe
Hanke pun akhirnya mewujudkan cita-citanya bersama Iwata. Citra gamer yang biasanya lekat dengan gaya hidup tak sehat kini bergeser pelan-pelan. Setidaknya, pemain Pokemon Go tak bisa berjam-jam diam dalam rumah, lupa makan, dan lupa bersosialisasi karena terlarut dalam game.
Hanke merancang Pokemon Go untuk memaksa gamer bergerak ke sana kemari dengan cara menyenangkan, yakni mencari monster-monster virtual di dunia nyata. Gerakan fisik pemain pun dibayar dengan temuan Pokemon dan item-item bermanfaat yang tersebar pada titik-titik Pokestop.
Selain mendorong gamer agar bergerak, Hanke juga ingin mengajak pemain untuk mengeksplor lingkungan sekitar. Dengan begitu, pemain bisa terus belajar dan mendapat pencerahan dari hal-hal yang terjadi di sekeliling.
Terakhir, Hanke berharap para pemain Pokemon Go bisa berkenalan dengan sesama komunitas pemain. Hal itu bisa terjadi saat sama-sama hendak mencari Pokemon di jalan, lalu berlanjut mengobrol hal-hal lainnya.
Pokemon Go resmi meluncur pada 6 Juli 2016 di AS, Australia, dan Selandia Baru. Meski baru hadir resmi di tiga negara, netizen negara lain bisa turut memainkan Pokemon Go.
Mereka menggunakan beberapa trik, antara lain dengan membuat akun Apple di tiga negara resmi atau mengunduh APK bagi pengguna Android.
Popularitas Pokemon Go berhasil meningkatkan nilai saham Nintendo hingga lebih dari 50 persen. Nilai perusahaan pun naik menjadi 12 miliar dollar AS atau sekitar Rp 157 triliun.
Dengan ini, ketelatenan dan fokus Hanke pada game berbasis GPS nyatanya tak sia-sia. Entah apa lagi ide "gila" Hanke yang bakal menjadi tren global selanjutnya.
sumber :
http://tekno .kompas .com/read/2016/07/22/20080057/perjuangan.20.tahun.kreator. pokemon.go.
EmoticonEmoticon